Definisi Tabdi’ (vonis bid’ah)
Tabdi’ adalah menvonis atau menghukumi seseorang sebagai mubtadi’ atau ahlul bid’ah. Maka untuk itu harus difahami dulu apakah bid’ah itu.
Di dalam kamus al-Mu’tamad dikatakan :
بدع الشيء : اخترعه و أنشاه لا على مثال, ب دعه : نسبه إلى البدعه.
ابتدع الشيء : بدعه, وابتدع البدعة : أحدثها. البدعة : ما ُأحدث
على غير مثال سابق, عقيدة تخالف الدين, أو الحدث في الدين بعد
الإكمال, ما استحدث بعد النبي من الأهواء والأعماك.
Bada’a asy-Syai`a artinya adalah mengadakan dan membuatnya tanpa ada contohnya, badda’ahu artinya adalah menyandarkannya kepada bid’ah.
Ibtada’a asy- Syai`a artinya mengadakannya, ibtada’a al-Bid’ah artinya mengada-adakan bid’ah.
Bid’ah adalah perkara yang diada-adakan tanpa ada contohnya sebelumnya, atau aqidah yang menyelisihi agama, atau perkara baru di dalam agama setelah agama ini disempurnakan, atau segala hal yang diada-adakan setelah Nabi dari hawa nafsu dan perbuatan.
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu berkata :
“Asal kata Bid’ah adalah membuat/mengada-adakan sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Diantaranya adalah firman Alloh Ta’ala :
﴿بدِي ع ال سم واِت والأ رضِ﴾
“(Dialah Alloh) Badi’ (yang menciptakan ) langit dan bumi”
Artinya yaitu (Alloh) yang mengadakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya dan firman-Nya Ta’ala :
ُق ْ ل ما ُ كن ت بِ دعًا مِن الر سل“
Katakan(wahai Muhammad) Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara para rasul.”
Artinya yaitu aku (Muhammad) bukanlah orang pertama yang datang dengan risalah dari Alloh kepada hambahamba- Nya, namun telah mendahuluiku banyak para rasul.Dikatakan : fulan mengada-adakan suatu bid’ah maknanya yaitu dia mendahului jalan yang belum pernah ada seorangpun sebelumnya mendahuluinya.”
Imam asy-Syathibi melanjutkan ucapan beliau :
فالبدعة إذن عبارة عن ((طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية
يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه))
“Maka kalau begitu, bid’ah adalah ungkapan dari suatu jalan di dalam agama yang diada-adakan yang menyerupai syariat, yang dimaksudkan untuk berjalan di atasnya secara berlebih-lebihan di dalam beribadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.35”
Adapun mubtadi’ adalah fail (pelaku) dari amalan bid’ah. Namun tidaklah setiap orang yang melakukan amalan bid’ah dengan serta merta dia menjadi bid’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullahu di dalam Haqiqotul Bida’ wal Kufri :
ليس كل من وقع في البدعة وقعت البدعة عليه
“Tidaklah setiap orang yang terjatuh ke dalam kebid’ahan maka dengan serta merta bid’ah jatuh kepadanya. ( Ceramah Haqiqotul Bida’ wal Kufri oleh Syaikh al-Albani. Lihat pula al- Manhajus Salafiy ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani karya Syaikh ‘Amru )
Tabdi’ adalah isim taf’iil dari kata badda’a yubaddi’u yang artinya adalah menyandarkan seseorang atau sesuatu kepada bid’ah.
Atau dengan kata lain menghukumi seseorang sebagai mubtadi’ atau ahlul bid’ah.
Dikarenakan tidak setiap orang yang jatuh ke dalam bid’ah secara otomatis menjadi mubtadi’, oleh karena itu ada beberapa kaidah dan kriteria yang harus difahami sebelum menvonis seseorang sebagai mubtadi’.
Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di dalam nukilan terhadap ucapan ulama salafiyun tentang hal ini.
Ucapan Muhadditsul Ashr al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani
Samahatul Imam, Muhaddits al-Ashr, Muhammad Nashirudin al-Albany rahimahullahu berkata di dalam mendefinisikan siapakah mubtadi’ itu sebagai berikut :
أثر أبي هريرة رضي الله عنه يصلح أن يكون مثا ً لا عن أنَّ وقوع العالم
في بدعة لا يعني أنه مبتدع, وأنَّ وقوع العالم في ارتكاب محرم أي
القول في إباحة ما هو محرم اجتهادا منه لا يعني أنه ارتكب محرما.
فأقول : أثر أبي هريرة رضي الله عنه هذا الذي ين ص على أنه كان
يقوم يوم الجمعة قبل الصلاة يعظ الناس, يصلح بأن يكون مثا ً لا
صالحًا, كون البدعة قد تقع من عالم وليس مع ذلك أنه مبتدع.
“Atsar Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu sesuai untuk dijadikan sebagai contoh dari permasalahan bahwa jatuhnya seorang alim ke dalam kebid’ahan tidak otomatis menjadikannya mubtadi’. Dan jatuhnya seorang alim ke dalam perbuatan haram yaitu dengan berpendapat tentang bolehnya sesuatu yang haram karena hasil ijtihadnya maka tidak otomatis menyebabkannya sebagai pelaku keharaman. Aku katakan, atsar Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu ini yang menashkan/menunjukkan bahwa beliau berdiri pada hari Jum’at sebelum sholat, memberikan nasehat kepada manusia, merupakan contoh tepat yang sesuai, bahwasanya terkadang bid’ah itu dilakukan oleh seorang yang alim namun tidaklah menjadikannya sebagai mubtadi’ begitu saja.”
وقبل الخوض في تمام الجواب أقول : المبتدع هو أولا الذي من عادته
الابتداع في الدين, وليس الذي يبتدع بدعة ولو كان هو فعلا ليس
عن اجتهاد وإنما عن هوى, مع هذا لا يسمى مبتدعًا. وأوضه مثال
لتقريب هذا المثال, أن الحاكم الظالم قد يعدل في بعض أحكامه فلا
يقال فيه عادل, كما أن العادل قد يظلم في بعض أحكامه فلا يقال
فيه ظالم, وهذا يؤكد القاعدة الإسلامية الفقهية أن الإنسان بما يغلب
عليه من خير أو شر إذا عرفنا هذه الحقيقة عرفنا من هو المبتدع.
”Sebelum masuk lebih mendalam kepada jawaban, aku katakan : pertama, mubtadi’ itu adalah orang yang kebiasaannya mengada-adakan bid’ah di dalam agama.
Dan tidaklah orang yang melakukan kebid’ahan walaupun ia melakukannya bukan dari ijtihadnya tetapi dari hawa nafsunya, namun walau demikian ia tidak dikatakan sebagai mubtadi’. Aku terangkan sebuah contoh yang mirip dengan contoh ini, seorang hakim yang zhalim, terkadang berlaku adil dalam sebagian keputusannya namun dia tidaklah dikatakan sebagai hakim yang adil, sebagaimana juga hakim yang adil terkadang melakukan kezhaliman pada sebagian keputusannya namun dia tidak dikatakan sebagai hakim yang zhalim. Hal ini menyokong suatu kaidah fikih islami bahwasanya seseorang itu dihukumi dari kebaikan dan keburukan yang dominan pada dirinya, apabila kita telah mengetahui realita ini niscaya kita mengetahui siapakah mubtadi’ itu.”
فيشترط إذن في المبتدع شرطان : أو ً لا : أن لا يكون مجتهدا وإنما
يكون متبعًا للهوى, والثاني : أن يكون ذلك من عادته ومن دينه.
”Kalau begitu, disyaratkan bagi mubtadi’ itu dua syarat, yaitu : pertama, dia bukanlah termasuk mujtahid namun ia adalah pengikut hawa nafsu, dan kedua yaitu, dia
tidaklah melakukannya sebagai kebiasaannya atau sebagai bagian dari agamanya.” (Dari kaset Man Huwa al-Mubtadi’, Silsilah al-Huda wan Nur ash-Shoutiyah no. 785, side B; dinukil dari buku Aqwaalu wa Fataawa al-Ulama`u fit Tahdziiri min Jama’ati al-Hajri wat Tabdii’, penyusun : Kumpulan Penuntut Ilmu, cet. II, 1424 H., tanpa penerbit, hal. 18-19.)
Samahatul Imam juga ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut :
السائل : هل صحيح أن هجر المبتدعة في هذا الزمان لا يطبق؟
“Apakah benar bahwa menghajr ahli bid’ah di zaman ini tidak tepat untuk diimplementasikan?”
Samahatul Imam rahimahullahu menjawab :
هو يريد أن يقول لا يحسن أن يطبق, هل صحيح لا يطبق؟ هو لا
يطبق لأنه المبتدعة و الفساق والفجار هم الغالبون, ولكن هو يريد أن
يقول لا يحسن أن يطبق, وهو كأنه السائل يعنيني أولا يعنيني. فأقول:
نعم, هو كذلك, لا يحسن أن يطبق, وقد قلت هذا صراحة آنفا
حينما ضربت المثل الشامي: أنت مس ّ كر وأنا مب ّ طل.
“Dia (penanya) bermaksud mengatakan bahwa praktek hajr tidak layak untuk diterapkan, apakah benar tidak layak diterapkan?
Yang benar adalah praktek hajr memang tidak diterapkan karena mubtadi’, orang-orang
fasik dan fajir (durhaka) adalah dominan di zaman ini.
Akan tetapi dia (penanya) ingin mengatakan tidak layak untuk diimplementasikan. Dan penanya seakan-akan memaksudkanku dengan pertanyaannya ataukah tidak
memaksudkanku. Maka aku katakan, “iya” keadaannya adalah demikian, tidak layak untuk diterapkan. Saya telah mengatakannya dengan jelas tadi ketika aku membuat permisalan tentang pepatah Syaami (orang Syam) : “Kamu menutup (pintu masjid) maka aku tidak jadi sholat.”
(Dari kaset Haqiqotul Bida’ wal Kufri, Silsilah al-Huda wan Nur no. 666, side B; dinukil dari al-Manhajus Salaf ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani karya ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim hal. 90-91; Bagi yang ingin mendapatkan terjemahan lengkap ceramah ini bisa didownload di http://geocities.com/fsms_sunnah (Download Centre Maktabah Abu Salma).
Beliau rahimahullahu ditanya kembali :
السائل : لكن مث ً لا إذا وجدت بيئة, الغالب في هذه البيئة أهل السنة
مث ً لا, ثم وجدت بعض النوابت ابتدعوا في دين الله عز وجل, فهنا
يطبق أم لا يطبق؟
“Tapi (wahai syaikh), misalkan ada sebuah lingkungan, dan yang dominan di lingkungan ini adalah ahlus sunnah misalnya, kemudian ditemukan ada sekelompok orang yang berbuat bid’ah di dalam agama Alloh Azza wa Jalla, maka apakah (hajr) diterapkan ataukan tidak?”
Beliau rahimahullahu menjawab :
يجب هنا استعمال الحكمة, هذه الفئة الظاهرة القوية, هل إذا قاطعت
الفئة المنحرفة عن الجماعة, يعود الكلام سابق هل ذلك ينفع الطائفة
المتمسكة أم ي ضرها, هذا من جهتهم, ّ ثم هل ينفع المقاطعين
والمهجورين من الطائفة المنصورة أم ي ضرهم, هذا سبق جوابه
كذلك. يعني لا ينبغي أن تأخذ مثل هذه الأمور بالحماس وبالعاطفة
وإنما بالروية والأناة و الحكمة…
“Yang wajib adalah kita harus menggunakan hikmah. Jika kelompok yang lebih kuat yang mayoritas yang menghajr kelompok yang menyeleweng –kita kembalikan kepada pembahasan yang telah lalu- apakah hal ini akan memberikan manfaat pada kelompok yang berpegang pada kebenaran ataukah malah akan mencederai
(memudharatkan) nya? Ini dari satu sisi. Kemudian dari sisi lain apakah hajr yang diterapkan oleh ath-Thaifah al-Manshurah bermanfaat bagi kelompok yang dihajr atau justru menimbulkan mudharat bagi mereka. Jawabannya telah lalu, yaitu tidaklah patut dalam permasalahan seperti ini kita mengambil sikap dengan semangat dan perasaan belaka, namun seharusnya dengan sikap hati-hati, tenang (tidak gegabah) dan penuh hikmah…”(ibid)
Ucapan Ma’ali asy-Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Alu Syaikh
”Masalah kedua, tentang siapakah yang berhak dihukumi (sebagai pelaku) bid’ah? (Menvonis) bid’ah adalah hukum syar’i, dan menvonis orang yang mengamalkan bidah
sebagai mubtadi’ adalah hukum syar’i yang berat sekali, karena hukum-hukum syar’iyyah yang menyangkut perseorangan/individu seperti kafir, mubtadi’ dan fasiq, maka tiap-tiap hukum ini adalah haknya ahlu ilmi (ulama). Sesungguhnya tidaklah melazimkan / mengharuskan antara kufur dengan kafir, dan tidaklah amalan kufur itu melazimkan pelakunya menjadi kafir, pasangan (tsanaa’iyyah) tidaklah saling melazimkan/mengharuskan satu dengan lainnya.”
.
”Tidaklah setiap orang yang mengamalkan bid’ah maka ia adalah mubtadi’ dan tidak lah setiap orang yang melakukan kefasikan maka ia menjadi fasik. Terkadang dikatakan, sesungguhnya dia kafir secara zhahir dipandang dari zhahirnya, dia fasiq secara zhahir, dia
mubtadi’ secara zhahir, namun hal ini tidaklah berarti hukum mut lak, taqyid (mengikat) dengan zhahir tidaklah menghukumi secara mutlak sebagaimana telah ditetapkan pembahasannya.”
فالحكم بالبدعة وبأن قائل هذا القول مبتدع وأن هذا القول بدعة
ليس لآحاد من عرف السنة، وإنما هو لأهل العلم؛ لأنه لا يحكم
بذلك إلا بعد وجود الشرائط وانتفاء الموانع، وهذه مسألة راجعة إلى
أهل الفتوى وأ ّ ن اجتماع الشروط وانتفاء الموانع من صنعة المفتي.
”Menghukumi bid’ah dikarenakan seseorang mengucapkan perkataan ini sebagai mubtadi’ atau ucapan itu sebagai bid’ah bukanlah hak bagi setiap orang yang mengetahui sunnah, namun hal ini adalah haknya ahli ilmu. Karena seseorang tidaklah dihukumi sebagai
mubtadi’ melainkan setelah terpenuhinya syarat dan dihilangkannya penghalang, dan masalah ini dikembalikan kepada ahlu fatwa, karena memenuhi syarat dan menghilangkan penghalang adalah tugas seorang mufti…”( lihat : Masa`il fil Hajri wa maa yata’allaqu bihi : Majmu’atu min ba’dli asyrithoti asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Ali Syaikh, I’dad : Salim al-Jaza`iri, download dari http://www.sahab.org )
Ucapan Fadhilatus Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly
Syaikhuna Salim bin ’Ied al-Hilaly hafizhahullahu berkata ketika menjawab pertanyaan tentang apakah dhowabith (kriteria) di dalam hajr dan tabdi’ :
ضوابط التبديع أولا أن يكون الأمر الذي نحذر منه بدعة الأمر الثاني
أن يكون المبتدع مصرا على بدعته ووقع فيها هوى وقصدا فإن كان
صاحب البدعة قد وقع في البدعة هوى وقصدا ونصح وأقيمت عليه
الحجة وبين له أن هذه بدعة ولم يرجع إلى الحق فهذا الذي نقول
مبتدع وليس كل من وقع في البدعة مبتدع وليس كل من وقع في
البدعة وقع حكم البدعة عليه لأن أحيانا البدعة قد تقع من عالم
اجهادا فيحكم على الفعل أو القول أنه بدعة ولا يحكم على الفاعل
أنه مبتدع يكون له أجر خطأ أجر اتهدين.
”Kriteria di dalam tabdi’ adalah :
1. pertama, haruslah perkara yang kita mentahdzir (memperingatkan) darinya adalah suatu bid’ah (yang jelas).
2. Yang kedua, mubtadi’ (pelaku bid’ah) itu haruslah tetap keras kepala di dalam
melakukan kebid’ahannya dan dia melakukannya karena dilatarbelakangi oleh hawa nafsu dan dengan kesengajaan. Apabila seorang pelaku bid’ah melakukan kebid’ahan karena hawa nafsunya dan dengan sengaja, kemudian dia telah dinasehati dan ditegakkan hujjah atasnya, serta diterangkan padanya bahwa amalannya itu adalah bid’ah dan ia tidak mau kembali kepada
kebenaran, maka orang yang begini ini kita katakan sebagai mubtadi’.
Namun tidaklah setiap orang yang melakukan bid’ah dia adalah mubtadi’ dan tidaklah
setiap orang yang melakukan bid’ah maka vonis bid’ah jatuh kepadanya, karena terkadang suatu bid’ah itu jatuh kepada seorang alim yang berijtihad, maka
dihukumi perbuatan dan ucapannya sebagai bid’ah namun pelakunya tidaklah dihukumi sebagai mubtadi’. Dan dia mendapatkan pahala atas kesalahannya
sebagaimana pahalanya seorang mujtahid.””Aku contohkan satu misal di sini, dulu syaikh rahimahullahu (maksudnya adalah Imam al-Albani, pent.)
berpendapat bahwa bersedekap ketika bangun dari ruku’ adalah bid’ah. Baik! orang yang berpendapat seperti ini adalah asy-Syaikh Ibnu Baz rahmatullah ’alaihi. Lantas,
apakah syaikh al-Albani mengatakan bahwa syaikh Ibnu Baz adalah seorang mubtadi’ atau mengatakan beliau adalah seorang pelaku bid’ah?
Beliau mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Baz mendapatkan pahala sebagai seorang
mujtahid yang tersalah, dan tidaklah setiap orang yang jatuh kepada bid’ah maka kebid’ahan jatuh kepadanya atau hukum/vonis bid’ah jatuh kepadanya. (Seseorang)
tidak akan terhukumi sebagai mubtadi’ kecuali dengan dua syarat, syarat pertama adalah harus mensepakati bid’ah (atau kebid’ahannya suatu bid’ah yang jelas, pent.), syarat kedua adalah haruslah pelaku melangsungkan kebid’ahannya dimana ia telah
mengetahui akan bid’ahnya. Apabila ia tetap bersikeras melangsungkan kebid’ahannya maka orang ini disebut mubtadi’.
(Dinukil dari Tanya Jawab di dalam www.islam-future.net (website resmi Syaikh Salim bin Ied al-Hilali).
TEMPAT-TEMPAT TERJADINYA TAQLID
Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :
Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan firman Alloh ta’ala :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama, pent) yang ia dapati lebih utama dalam ilmu dan waro’(kehati-hatian)nya, jika hal ini sama pada dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara keduanya.
Yang kedua : terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).
Dan yang rojih (kuat) adalah bahwa yang demikian bukanlah syarat, berdasarkan keumuman firman Alloh subhanahu wa ta’ala :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Ayat ini adalah dalam konteks penetapan kerosulan yang merupakan ushuluddin, dan karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) kebenaran dengan dalil-dalinya
Maka jika ia memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya)
kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian.” [QS. at-Taghobun : 16]
JENIS-JENIS TAQLID :
Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.
1. Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya.
Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
2. Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
FATWA SEORANG MUQOLLID (ORANG YANG BERTAQLID):
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuanjika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Dan ahludz dzikr ( َأهلَالذِّكْر ) mereka adalah ahlul ilmi, dan muqollid bukanlah termasuk ahlul ilmi yang diikuti, akan tetapi ia hanya mengikuti orang lain.
Abu Umar Ibnu Abdil Barr dan yang selainnya berkata: “Manusia telah berijma’
bahwa muqollid tidak terhitung sebagai ahli ilmu, dan bahwa ilmu adalah mengetahui kebenaran dengan dalilnya.”
Ibnul Qoyyim berkata: “Yang demikian sebagaimana dikatakan oleh Abu Umar, karena manusia tidak berbeda pendapat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dihasilkan dari dalil.
Adapun jika tanpa dalil, maka ini adalah taqlid.”
Kemudian setelah itu Ibnul Qoyyim menyebutkan 3 pendapat tentang bolehnya fatwa dengan taqlid:
• Yang pertama: tidak boleh berfatwa dengan taqlid karena taqlid bukanlah ilmu, dan berfatwa tanpa ilmu adalah harom. Ini merupakan pendapat kebanyakan al-Ash`haab (yakni ‘ulama Hanabilah, pent) dan kebanyakan (jumhur) Syafi’iyyah.
• Yang kedua : bahwa hal tersebut boleh dalam masalah yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dan seseorang tidak boleh taqlid dalam masalah yang ia berfatwa dengannya kepada orang lain.
• Yang ketiga : bahwa hal tersebut boleh ketika ada hajat (keperluan) dan tidak adanya seorang ‘aalim mujtahid, pendapat ini merupakan pendapat yang paling benar dan pendapat ini dilakukan. Selesai perkataannya (Ibnul Qoyyim, pent).
Dan dengan ini maka sempurnalah apa yang kami ingin menulisnya dalam kesempatan yang singkat ini, kita memohon kepada Alloh agar memberikan kepada kita petunjuk dalam perkataan dan perbuatan, dan menutup amalamal kita dengan kesuksesan, sesungguhnya ia Maha Memberi dan Maha Pemurah, sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad dan keluarganya.
————————–
1 Rukhshoh ( ما ثبت بدليل شرعي لخصوص حالة العذر كالصلاة قاعداً أو مضطجعاً) : (الرخصة ) “Apa-apa yang
tetap dengan dalil syar’i yang khusus pada kondisi adanya udzur; seperti sholat sambil
duduk atau berbaring”. Pent
2 Azimah ( ما ثبت شرعاً لغير حالة العذر كالصلاة قائماً) :(العزيمة ) “Apa-apa yang tetap/berlaku secara
syar’i, bukan dalam kondisi adanya udzur; seperti sholat sambil berdiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar